Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Menurut Islam

$rows[judul]



Keterangan Gambar : Denny Prabu Syahputra, Mahasiswa S2 Akuntansi, Universitas Jember.

Viralindonesia.co.id - Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 dengan tujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat dan mewujudkan kehidupan negara dan bangsa yang adil dan makmur. 


Pembangunan Negara merupakan kegiatan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. Merealisasikan tujuan tersebut pemerintah perlu dengan cermat menata tanah air dan perlu memperhatikan masalah suatu negara dalam pembiayaan pembangunan, cara mudah untuk mewujudkan tujuan tersebut dengan cara menggali sumber dana terbesar yang berasal dari dalam negeri yaitu pajak. 


Baca Juga : Manajemen Laba Dan Nilai-nilai Etika Islam


Menurut Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak menjadi salah satu kontribusi pembiayaan pembangunan nasional terbesar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan bangsa Indonesia.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah diberikan kewenangan untuk memungut pajak (taxing power). Salah satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). 


Pengalihan PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD, memperbaiki struktur APBD, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.


Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Mardiasmo, 2016). 


Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2016:4) yaitu : Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan nasional seperti menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya, Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, Fungsi stabilitas yang memainkan peranan penting dalam keseimbangan perekonomian suatu negara seperti mengatasi inflasi maupun deflasi, Pemanfaatan pajak untuk membuka lapangan pekerjaan. Dengan bertambahnya lapangan pekerjaan, maka semakin banyak pula penyerapan tenaga kerja sehingga pendapatan masyarakat pun dapat diperoleh secara merata.



Pajak Daerah adalah salah satu sumber pendapatan daerah (APBD) yang penting untuk membiayai kebutuhan pelaksanaan pemerintah daerah dan pembangunan. Selain itu pengertian pajak daerah berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 10 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (Sigit, 2019). Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan. suatu pajak daerah harus memenuhi syarat yang memenuhi kriteria-kriteria pajak daerah yaitu Bersifat pajak dan bukan retribusi, objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kota/kabupaten yang bersangkutan, objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, objek pajak yang bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak pusat, potensinya memadai, tidak memberikan dampak ekonomi yang negative, memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan.



Pajak Bumi Dan Bangunan adalah pajak yang sifatnya kebendaan & besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yakni bumi/tanah dan bangunan (Erly Suandy, 2005-61). PBB muncul sebab adanya keuntungan ekonomi yang didapatkan para pemilik bangunan, entah itu sebagai tempat tinggal atau memulai sebuah usaha dan besarannya pun pasti berbeda-beda.


Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia memiliki dasar hukum yang dapat melindungi dan Peraturan Bupati Daerah anatara lain : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, Peraturan Bupati Jember Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Jember, Peraturan Bupati Jember Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Jember Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Jember. Peraturan Bupati Nomor 31 Tahun 2012 Pasal 5 ayat 2 dijelaskan bahwa Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Yang dimaksud dengan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan (Peraturan Bupati 2012 : Pasal 5 ayat 2).


PAJAK MENURUT ISLAM


Sistem perpajakan menurut islam adalah sistem perpajakan yang diterapakan saat pemerintahan rasulullah sampai dengan pemerintahan khulafarussyidin. Pada zaman tersebut, anggaran negara masih sangat seberhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Negara memakai prinsip anggaran berimbang. Pendapatan negara yang dapat sangat berbeda tahunnya, bahkan dari hari kehari. Konsep pajak sebenarnya sudah digunakan sejak zaman rasulullah, pada masa pemerintahannya, rasulullah, menerapkan jizyah (pajak) yakni pajak yang dibebankan kepada orang orang yang non muslim, khusunya ahli kitab, sebagai jaminan keselamatan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah serta pengecualian dari wajib militer. 


Pada masa khalifah umar, mengistruksikan gubernur agar menarik zakat dari suatu kuda yang bernilai 20.000 sebesar satu dinar dan didistribusikan kepada fakir miskin serta budak budak. Pasca penaklukan syiria, sawad (irak), dan mesir, pendapatan bait al-mal meningkat secra substansial, kharad dan sawad mencapai seratus juta dinar dan dari mesir dua juta dinar. Dalam penetapan kharaj umar sangat teliti dan memperhatkan jangan sampai memberikan beban yang melebihi dari kemampuan menyewa.


Pajak merupakan sebuah tuntutan karena umat islam dianjurkan untuk menunaikan infak dan sedekah. Pajak wajib ditunaikan selama untuk kepentingan pembangunan diberbagai bidang dan sektor kehidupan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pajak merupakan iuran yang wajib oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara, provinsi, kota praja dan sebagainya. Pemungutan pajak menjadi konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai pencerminan suatu keadilan untuk kesejahteraan, denagn berlandaskan pada teori dan asas asas perpajakan yang sifatnya universal.



(Adiwarman 2004) Dalam Islam tidak ada namanya pajak, tetapi pajak menurut syariat disebut dengan istilah dharibah yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan memukul dan menerangkan atau membebankan. Pajak (dharibah)  kalau dilihat  dari karakteristiknya, ia tergolong kepada kelompok besar sedekah yaitu sebagai kewajiban lain diluar zakat. Tujun pajak itu adalah untuk membiayai berbagai pos pengeluaran Negara, yang diwajibkan atas mereka kaum muslimin, pada saat kondisi Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi. Jadi, ada tujuan yang mengikat dari bolehnya memungut pajak itu, yaitu pengeluaran yang memang di wajibkan kaum muslimin dan adanya suatu kondisi kekosongan kas negara. Demikian pula hendaknya bagi petugas pajak, jika hokum pajak itu dibuat secara syariat maka perbuatan memungut dan mendistribusikan pajak tentu dapat bernilai ibadah bagi pemungutnya (fiskus) maupun bagi wajib pajak sebagai jihad harta. Sekecil apapun perbuatan (kebaikan atau keburukan), pasti akan dipertanggung jawabkan dihadapan ALLAH SWT dan mendapatkan balasan NYA. Adapun hadis yang berkaitan dengan pajak : Dengarlah dan patuhlah pada (pemipinmu) walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil paksa hartamu. (H.R Muslim kitab AlImrah: 1847).


Dalam al-qur’an dharaba adalah bentuk kata kerja (fi’il), sedangkan bentuk kata bendanya (isim) adalah dharribah yang dapat berarti beban. Dharibah dalam isim mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah dharib. Ia disebut beban, karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya  akan dirasa sebagai sebuah beban.

Dalam al-qur’an (bahasa arab) hanya satu kali saja terdapat kata “pajak” yaitu terdapat pada terjemahaan QS AL-TAUBAH [9]:29 “Perangilah orang orang yang tidak beriman kepada allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh allah dan rasullnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama allah), (yaitu orang orang) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar (jizyah) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” 

Jadi, dharibah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk selain jizyah dan kharaj, sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah. Pengertian pajak dalam istilah bahasa arab dikenal dengan nama Al-Usyr atau Al-Maks atau juga Adhdharibah yang artinya “pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarikan pajak”. 


Selain itu ditemukan istilah lain sejenis seperti al-kharaj, yang biasa digunakan untuk pungutan pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus. Dalam konteks sejarah islam kharaj dikebal sebagai sejenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditlakukan oleh kekuasaan senjata, telepas dari pakah sipemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun tidak beriman. Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggarakan jasa jasa untuk keoentingan umum.


Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994. Dengan pertimbangan bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Hasil penerimaan dari pajak sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara eksplisit tentang PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah. Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang memiliki tanah dan/atau bangunan, lain halnya dengan kharaj yang hanya dikenakan bagi non-muslim maupun muslim sebagai biaya sewa atas tanah yang dimiliki negara Islam karena telah menaklukan wilayah tersebut. Dan kharaj dibayarkan saat panen dengan mempertimbangkan kemampuan dari tanah tersebut. 


Zakat dengan Pajak


Al-Mawardi (2006, 227) telah menjelaskan bahwa sumber pendapatan pemerintah dapat berasal dari ghonimah (harta rampasan perang), fai (harta yang didapatkan oleh pemerintah dari negara non-muslim tanpa perang), kharaj (pajak atas tanah), ushur (bea masuk), dan zakat. Akan tetapi, saat ini jenis pendapatan ghonimah serta fai sudah tidak mungkin lagi didapatkan oleh suatu negara, sehingga menurut Chapra (2001, 335) pada zaman ini pemerintah dapat membuat jenis pajak baru yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Kemudian para ulama juga telah berselisih pendapat mengenai bolehnya pemerintah memungut pajak lain selain zakat. Sebagian dari mereka membolehkan pemerintah memungut pajak, ini adalah pendapat Al-Qardhawi (2011, 966), Chapra (2001, 335), Ibnu Taimiyah dalam Islahi (1997, 254), Al-Ghazali dalam Al-Qardhawi(2011,1077), An-Nawawi dalam AlQardhawi (2011, 1076), dan ulama-ulama lainnya.Sedangkan ulama yang melarang pemerintah memungut pajak kepada rakyatnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip oleh Al-Hanbali (1993, 157), kemudian Al-Baghawi (1983, 61) serta Asy-Syaukani (2009,279). Akan tetapi menurut Chapra (2001,337), adanya pendapat yang melarang pemerintah memungut pajak disebabkan karena pemerintah yang ada pada zaman ulama tersebut sewenang-wenang dalam memungut pajak, sehingga rakyat hidup dalam kemiskinan sedangkan pemerintah hidup dalam kekayaan yang berlimpah. 


Adapun Al-Qardhawi (2011, 1079) menjelaskan bahwa pemerintah boleh melakukan pemungutan zakat dengan syarat empat hal berikut terpenuhi: Pemerintah benar-benar sedang membutuhkan uang dan sumber lain tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, Pembagian beban pajak yang adil diantara masyarakat,  Pajak hendaknya digunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu, Pajak harus dipungut dengan kesepakatan para ahli ekonomi dan ulama.


Beban keuangan dalam zakat itu dapat menyelamatkan sistem ekonomi Islam dalam hal pembebanan. Keadilan zakat yang hakiki menghendaki kesesuaian antara beban dan kemampuan. Suatu saat zakat akan mampu melestarikan kemampuan beban dan situasi kehidupan masyarakat. Kaidah-kaidah keadilan pajak mencakup semua orang yang dibebani pajak untuk membantu aparat pajak dengan cara tidak menghindari pajak. Keadilan pajak menghendaki seseorang tidak lari dari membayar pajak dan tidak boleh melebihi batas-batas yang sudah ditentukan dalam perpajakn serta tidak membebani masyarakat. Menurut Yusuf Qardawi, Prinsip-prinsip keadilan antara pajak dan zakat meliputi 4 prinsip, yaitu Pertama adalah prinsip keadilan, yang meliputi: Sama rata dalam kewajiban zakat dan pajak, artinya Setiap muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tana memandang bangsa, warna kulit, keturunan, atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama. 


Dalam pajak terdapat asas kesamaan, yaotu bahwa seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya dikenakan pajak yang sama. Kedua adalah prinsip kepastian. Kepastian pajak ditetapkan kepada para subjek pajak dengan cara yang pasti, tidak tersembunyi, baik mengenai waktu, tata cara, jumlah setoran, harus terang dan jelas bagi subjek pajak dan bagi siapa pun. Kepastian itu sangat era hubungannya dengan kestabilan pajak. Prinsip ketiga adalah prinsip kelayakan. 


Pajak seharusnya dilakukan ketika wajib pajak itu dalam keadaan senang.37 Misalnya: pemungutan pajak bumi dan bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen. Prinsip keempat dalam prinsip keadilan antara pajak dan zakat adalah prinsip ekonomis.Maksud prinsip ekonomis pajak adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak, dan menjauhi berbagi pemborosan.


Penulis: Denny Prabu Syahputra, Mahasiswa S2 Akuntansi, Universitas Jember.